Ali
bin Abi Thalib seorang Khalifah yang pemberani, kisah lengkap Ali bin
Abi Thalib ditulis kembali agar pembaca bisa mengetahui sejarah yang
sebenarnya mulai Ali bin Abi Thalib sebelum menjadi khalifah sampai
akhir hayatnya terbunuh.
‘Ali bin ‘Abi Thalib adalah menantu Rasulillah yang mendapat nama
kehormatan (kuniyyah) Abu Turab (Bapaknya tanah) dari Rasulillah. Abu
Turab adalah panggilan yang paling disenangi oleh ‘Ali karena nama
kehormatan ini kenang-kenangan berharga dari Nabi yang mulia. Ia
dibai’at menjadi Khalifah pada hari Jumat tanggal 25 Dzul-Chijjah tahun
35 Hijriyyah (4 Juni 656 M).
Sabda Nabi : “لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
"Niscaya
besok pagi bendera ini akan saya berikan pada seorang lelaki yang telah
diberi kemenangan karena usahanya. Ia dicintai Allah dan Utusan Allah
dan utusan Allah juga mencintainya".
Pada
masa perang Khaibar bulan Shafar tahun tujuh Hijriyah dia telah menjadi
tokoh utama bagi umat Islam pada umumnya. Setelah sabda yang
menggiurkan tersebut terucap, para shahabat membicarakan siapa orang
beruntung yang akan mendapatkan kehormatan tersebut. Setelah itu mereka
semua berambisi menjadi tokoh agung tersebut.
Di
suatu
pagi yang indah semua sahabat termasuk Umar yang tidak pernah ingin
menjadi pemimpin, berkeinginan untuk terpilih. Ternyata Ali bin Abi
Taliblah yang menerima kesempatan besar tersebut. Ali bin Abi Talib
juga dianugerahi karena telah membunuh Talha ibn' Uthman di perang Uhud
pada bulan Syawal tahun 3 (tiga) Hijriyyah (Januari 625 M)
خرج
طلحة بن عثمان صاحب لواء المشركين وقال: يا معشر أصحاب محمد إنكم تزعمون
أن الله يعجلنا بسيوفكم إلى النار ويعجلكم بسيوفنا إلى الجنة، فهل أحد منكم
يعجله سيفي إلى الجنة أو يعجلني سيفه إلى النار ؟ فبرز إليه علي بن أبي
طالب، فضربه علي فقطع رجله، فسقط وانكشفت عورته، فناشده الله والرحم فتركه،
فكبر رسول الله، صلى الله عليه وسلم، وقال لعلي: ما منعك أن تجهز عليه ؟
قال: إنه ناشدني الله والرحم فاستحييت منه –
Talha bin
'Uthman pembawa bendera kaum musyrik berkata," Wahai para golongan
sahabat Muhammad, engkau yang berkeyakinan bahwa Tuhan akan mempercepat
kami ke neraka dengan pedang kalian, dan mempercepat kamu ke surga
melalui pedang kami. Sekarang siapakah yang sanggup mempercepat diri
kalian ke Surga karena pedang kami atau mempercepat kami ke neraka
dengan pedang kalian? Ali akhirnya menerima tantangan tersebut, bergerak
cepat memukul mematahkan kakinya. Ia jatuh hingga terlihat auratnya
karena kain yang ia kenakan tersingkap, dan memohon kepada Ali agar
takut kepada Allah dan meminta-minta menjadi sahabatnya, lalu Ali
meninggalkannya. Tiba-tiba Nabi memekikan takbir demi melihat
pemandangan tersebut dan bertanya,"Apa yang membuatmu tidak
menghabisinya? Ali menjawab,"Ia memohon-mohon padaku untuk
memperhatikan Allah dan keluarga kami, sehingga saya merasa
enggan".[Al-Kamil fit-Tarikh 1 / 294]
Thabrani murid
Achmad bin 'Ali Abu al-Abbar murid Umayyad murid Uthman ibn'
Abdir-Rahman murid Isma'il ibn Rashid bercerita tentang kematian 'Ali
ibn' Abi Talib, yang bertepatan dengan hari Jum'at 17 Ramadan tahun
40 Hijriyyah (24 January 661M): Konon termasuk Hadits Ibnu Muljam dan
shahabat-shabatnya yang dilaknat Allah ialah: Memang ‘Abdur-Rahman bin
Muljam, Al-Barku bin ‘Abdillah dan ‘Amer bin Bakr At-Taimi mengadakan
pertemuan di Makkah untuk membahas tentang ihwal masyarakat umum dan
mencela perbuatan tokoh-tokoh besar Muslimiin. Pembicaraan tersebut
berkembang ke arah pembahasan kepedulian mereka pada penduduk kota Nahar
yang dulu pernah diperangi ‘Ali. Mereka berkata, “Demi Allah kita ini
belum berjasa sebanyak tokoh-tokoh (Khawarij) yang telah mendahului
kita. Tokoh-tokoh pendahulu kita telah menjadi dai yang mengajak
orang-orang agar beribadah pada Tuhan mereka, dan di dalam beribadah
mereka tidak takut caci-makian orang mencaci-maki. Hendaklah kita-kita
ini mengorbankan diri-kita dengan cara mendatangi dan memastikan
tokoh-tokoh besar Muslimiin terbunuh, sebagai upaya agar penduduk-kota
kita tidak dendam dan agar dendam pendahulu kita terbalas. Ibnu Muljam
yang konon sebagai penduduk Mesir berkata, “Sayalah yang membereskan
urusan kalian berupa menghabisi ‘Ali.” Al-Barku bin ‘Abdillah berkata,
“Sayalah yang akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.” ‘Amer bin Bakr At-Tamimi berkata, “Sayalah
yang akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi ‘Amer bin ‘Ash.”
Tiga
orang yang terancam kematiannya ini tokoh besar ummat Islam yang saat
itu namanya menggetarkan dunia karena saat itu zaman kejayaan Islam:
- ’Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang sangat agung.
- Mu’awiyyah sebagi Gubernur yang sangat berpengaruh karena pernah menjadi sekretaris Rasulillah.
- ‘Amer bin ‘Ash orang yang pernah diangkat sebagai panglima perang oleh Abu Bakr, bahkan tergolong Umara’ul-Ajnad (semacam jendral besar).
Mereka bertiga membuat persekongkolan dan perjanjian rahasia
yang diikat dengan sumpah demi Allah tak seorangpun dari mereka
mem-batalkan rencananya sehingga berhasil membunuh sasaran mereka
masing-masing atau mati karena rencana gila tersebut. Mereka bertiga
mengambil pedang untuk diberi racun, dan membulatkan perjanjian bahwa
masing-masing mereka bertiga akan menyerang korban mereka tanggal 17
Ramadhan. Mereka bertiga pergi ke kota yang dihuni oleh sasaran mereka
masing-masing.
Ibnu Muljam Al-Muradi mendatangi
sahabat-sahabatnya berada di kota Kufah, namun ia menyembunyikan
rencananya karena takut akan ada yang mengetahuinya. Ibnu Muljam juga
mendatangi teman-temannya dari keluarga besar Taimir-Rabab, yaitu sebuah
keluarga besar yang pada zaman perang An-Nahar banyak yang mati
terbunuh. Keluarga besar Taimir-Rabab membicarakan dan mengasihani
keluarga mereka yang meninggal dalam peperangan tersebut. Kebetulan saat
itu muncul seorang wanita bernama Qatham binti Sachnah dari keluarga
besar Taimir-Rabab yang memendam dendam pada ‘Ali karena telah
membunuh ayah dan saudara laki-lakinya dalam perang Nahar tersebut.
Konon kecantikan Qatham binti Sachnah luar biasa (sempurna). Karena
kecantikan Qatham binti Sachnah lah maka ia lupa dengan tujuan semula
(tersihir). Ibnu Muljam melamar Qatham binti Sachnah. Qatham binti
Sachnah menjawab, “Saya tidak akan menikah sehingga kau bisa mengobati
sakit-hatiku.” Ibnu Muljam bertanya, “Sebetulnya apa yang kau
inginkan?.” Ia menjawab, “Tiga ribu dinar dan budak laki-laki dan
biduanita dan bunuhlah ‘Ali !.” Ibnu Muljam berkata, “Berarti ini
sebagai maskawin untukmu. Namun apa betul kamu ingin ‘Ali dibunuh?.”
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi ‘Ayyasy Al-Muradi berkata, “وَلا مَهْرَ أَغْلَى مِنْ عَلِيٍّ (Sebetulnya tidak ada maskawin yang lebih mahal dari pada membunuh ‘Ali bin Abi Thalib ).”
Ia
menjawab, “Betul!. Pastikan pembunuhan tersebut pada
waktu-bulan-ghurrah (sekitar tanggal 15)!. Jika kau berhasil maka kita
berdua puas, selanjutnya kita berdua hidup berbahagia penuh manfaat.
Namun jika kau yang mati terbunuh, maka yang di sisi Allah jauh lebih
baik dari pada dunia dan perhiasan penghuninya.” Ibnu Muljam berkata,
“Sebetulnya kedatanganku kemari memang bertujuan membunuh dia.” Ia
menjawab, “Jika tekadmu telah bulat kabarilah saya, saya akan menyuruh
orang agar membantu dan mendukungmu.” Akhirnya Qatham perintah lelaki
dari keluarganya yang menyanggupinya bernama Wardan. Ibnu Muljam
mendatangi lelaki (shahabat karibnya) dari keluarga besar Asyja’ bernama
Syabib bin Najdah untuk berkata, “Bukankah kau mau mendapatkan kejayaan
dunia dan akhirat?.” Ia menjawab, “Apa maksudmu?.” Ibnu Muljam
menjawab, “Membunuh ‘Ali .” Ia menjawab, “Kau ini gila. لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِدًّا –
Niscaya kau telah melakukan kegilaan yang nyata. Apa mungkin kau bisa
membunuh dia?.” Ibnu Muljam berkata, “Saya akan bersembunyi di waktu
sahur. Jika ia telah keluar rumah untuk mengimami shalat shubuh, maka
saat itu juga kita serang dan kita bunuh. Jika dalam rencana ini kita
selamat maka kita puas dan dendam kita telah terbalas, namun jika kita
mati maka pahala di sisi Allah jauh lebih baik dari pada dunia dan
perhiasan penghuninya. Ia berkata, “Kau memang harus kubantu. Tapi kalau
rencana ini ditujukan pada selain ‘Ali niscaya urusannya lebih ringan
bagiku. Karena saya tahu sepenuhnya bahwa jasa dia di dalam Islam sangat
besar. Ia juga termasuk shahabat Nabi yang awal. Terus terang dalam
hal ini saya merasa keberatan. Ibnu Muljam berkata, “Bukanakah kau
sendiri tahu bahwa dia yang memerangi penduduk Nahar yang tekun
beribadah dan shalat?.” Ia menjawab, “Betul.” Ibnu Muljam berkata, “Kita
membunuh dia karena membalaskan saudara-saudara kita yang dia bunuh
saat itu.” Setelah Syabib bin Najdah menyetujuinya, mereka bertiga
segera berpamitan, “Kami semua telah mufakat akan membunuh ‘Ali,” pada
Qatham yang saat itu sedang i’tikaf di dalam Masjid Agung. Qatham
menjawab, “Jika kalian telah siap berangkat datanglah kemari lagi!.”
Ibnu Muljam datang untuk berkata pada Qatham, “Saya dan dua teman saya
telah berjanji akan bahwa masing-masing kami akan membunuh seorang tokoh
besar.” Tak lama kemudian Qatham minta kain sutra untuk dibalutkan pada
mereka bertiga, (mungkin untuk memberi mereka support).
Mereka
bertiga mengambil pedang mereka masing-masing lalu selanjutnya
berangkat menuju depan pintu yang biasanya dipergunakan keluar oleh
‘Ali. Akhirnya ‘Ali keluar untuk mengimami shalat shubuh sambil berkata,
“Shalat shalat.” Syabib bin Najdah bergerak cepat menyerang ‘Ali dengan
pedang, namun pedangnya menghantam gawan pintu atau ornament. Ibnu
Muljam bergerak cepat memukul ujung kepala ‘Ali dengan pedang.
Wardan
berlari cepat pulang ke rumahnya; dikejar anak laki-laki ibunya. Lelaki
tersebut memasuki rumah Wardan di saat Wardan sedang melepas kain sutra
dan meletakkan pedangnya. Lelaki tersebut bertanya, “Ada apa dengan
kain sutra dan pedang ini?.” Wardan terpaksa berterus terang padanya.
Lelaki tersebut bergegas pulang ke rumah untuk mengambil dan menebaskan
pedangnya hingga Wardan mati.
Syabib melarikan diri ke
arah pintu-gerbang-pintu-gerbang kota Kindah dikejar masya. Syabib
roboh bersimbah darah karena kakinya dipedang dan dibanting oleh
‘Uwaimir dari Chadhramaut. Ketika masya pengejar Syabib telah makin
dekat; saat itu Syabib telah menguasai pedangnya. ‘Uwaimir membiarkan
Syabib kabur dan memasuki kerumunan masya dari pada dirinya terkena
serangannya.
Ibnu Muljam jatuh saat melarikan diri dari
kejaran lelaki dari Hamdan yang biasa dipanggil Aba Adama karena
kakinya dipatahkan dengan pedang oleh lelaki tersebut. ‘Ali mendorong
punggung جَعْدَةَ بن هُبَيْرَةَ بن أَبِي وَهْبٍ
(Ja’dah bin Hubairah bin Abi Wahb) agar mewakili mengimami jamaah
shalat shubuh; sebagaian jamaah berlarian dari segala penjuru untuk
menyerang Ibnu Muljam.
Sejumlah orang melaporkan bahwa
Muhammad bin Chunaif berkata: “Demi Allah, di malam ‘Ali bin Abi Thalib
dipedang; saat itu saya shalat bersama lelaki-lelaki kota tersebut di
dalam Masjid Agung tersebut, yaitu di dekat pintu-keluar rumah ‘Ali
menuju Masjid. Di antara mereka ada yang sedang berdiri, ada yang sedang
rukuk, ada yang sedang sujud. Mereka tak bosan-bosan melakukan shalat
sejak awal hingga akhir malam. Tiba-tiba ‘Ali keluar pintu untuk
mengimami shalat shubuh sambil menyerukan, “Shalat shalat.” Saya sendiri
tidak tahu apakah lebih dulu ia mengucapkan kalimat tersebut ataukah
duluan kulihat pedang-pedang mengkilap. Saya mendengar, “الْحُكْمُ للَّهِ ، لا لَكَ يَا عَلِيُّ وَلا لأَصْحَابِكَ
(Tiada hukum kecuali kekuasaan Allah, bukan hakmu ya ‘Ali, dan bukan
hak shahabat-shahabatmu).” Lalu kulihat pedang berkelebat. Lalu kulihat
masya berdatangan. Saya mendengar ‘Ali perintah, “Jangan sampai lelaki
itu lepas!.” Sejenak kemudian masya dari segala penjuru berlari cepat
mengejarnya. Saya berada di dalam lokasi tersebut hingga Ibnu Muljam
tertangkap dan dimasukkan ke rumah ‘Ali bin Abi Thalib.
Saya memasuki rumah ‘Ali mengikuti orang-orang. Tiba-tiba saya mendengar ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “النَّفْسُ بِالنَّفْسِ ، إِنْ هَلَكْتُ فَاقْتُلُوهُ كَمَا قَتَلَنِي
(Jiwa dibalas dengan jiwa. Jika saya mati maka bunuhlah dia sebagaimana
memedangku)!. Namun jika saya masih hidup, maka telah punya pandangan
sebaiknya dia diapakan?.” Di saat Ibnu Muljam dibawa masuk ke rumah
‘Ali; ‘Ali bertanya, “Ya musuh Allah, bukankah saya telah berbuat baik
padamu?, bukankah saya telah memperlakukan kamu dengan baik?.” Ia
menjawab, “Betul.” ‘Ali bertanya, “Lalu apa yang mendorongmu melakukan
ini?.” Saya telah mengasah pedangku selama empat puluh shubuh lalu
berdoa agar Allah membunuh sejelek-jelek makhluq-Nya dengan pedang ini.”
‘Ali berkata, “Saya yakin kamu akan mati terbunuh dengan pedang ini,
dan kamu termasuk makhluq Allah paling jelek.” Konon dua tangan Ibnu
Muljam diikat erat hingga belikat di depan Chasan.
Tiba-tiba
putri ‘Ali bernama Ummu Kultsum menangis, “Hai musuh Allah, ayahku
tidak apa-apa; sementara kamu akan dihinakan oleh Allah.” Ibnu Muljam
menjawab, “Kenapa kau menangis?. Demi Allah pedang itu kubeli seharga
seribu (dinar), dan telah kuberi seribu racun. Kalau pukulan pedangku
ini melukai seluruh penduduk kota ini pasti mereka tidak mampu bertahan
hidup satu jam pun. Namun ayahmu masih juga hidup hingga saat ini.” ‘Ali
berkata pada Chasan, “Jika aku bertahan hidup, aku telah mempunyai
perhitungan. Namun jika aku mati karena pukulan pedang ini, maka
pukullah dengan pedang sekali saja, jangan kau siksa. Sebab sungguh aku
pernah mendengar Rasulallah melarang menyiksa meskipun pada anjing
buas.” Sebuah riwayat menjelaskan bahwa Jundub bin ‘Abdillah memasuki
rumah ‘Ali untuk memohon, “Jika kami kehilangan tuan, maka kami akan
berbai’at pada Chasan.” ‘Ali bin Abi Thalib menjawab, “Yang ini saya
tidak perintah dan tidak melarang, kalian yang lebih tahu.”
Ketika
‘Ali bin Abi Thalib telah wafat; Chasan perintah agar Ibnu Muljam
dibawa masuk ke rumahnya. Ibnu Muljam berkata ketika telah masuk ke
rumah Chasan, “Bolehkah saya minta sesuatu?, demi Allah sejak dulu jika
saya bersumpah pada Allah pasti saya laksanakan. Saya pernah bersumpah
pada Allah akan membunuh ‘Ali dan Mu’awiyyah, atau saya mati saat
menyerang mereka berdua. Jika kau setuju lepaskanlah saya agar membunuh
dia. Saya bersumpah pada Allah jika saya gagal membunuhnya, saya akan
menyerahkan tanganku pada tanganmu.”
Sepertinya Ibnu
Muljam yakin sepenuhnya bahwa Chasan sangat benci Mu’awiyyah bin Abi
Sufyan, sehingga ia menawarkan jasa membunuh Mu’awiyyah agar Chasan mau
melepaskannya.
Chasan menjawab, “Demi Allah tidak
bisa, atau kamu akan menyaksikan neraka.” Chasan perintah agar Ibnu
Muljam diajukan untuk dibabat kepalanya dengan pedang. Selanjutnya mayat
tersebut dimasukkan dalam bawari (tempat). Tak lama kemudian masya
membakarnya dengan api. Sebelum itu ‘Ali bin Abi Thalib telah
berpesan, “Ya keluarga besar ‘Abdul-Muthalib, jangan sampai terjadi
suatu saat nanti saya menjumpai kalian berkecimpung dalam darahnya
Muslimiin hanya karena beralasan ‘ini kami lakukan karena
Amirul-Mu’miniin dibunuh, ini kami lakukan karena Amirul-Mu’miniin
dibunuh. Ingat, tidak boleh ada yang dibunuh kecuali orang yang telah
membabatkan pedangnya padaku!.”
Luar biasa, di saat kemarahan
‘Ali bin Abi Thalib di puncak, ia masih bisa berbicara dengan arif dan
bijaksana. Sebetulnya wasiat terakhir sebelum wafatnya panjang dan
indah luar biasa. Pantaslah jika Rasulullah pernah bersabda, “يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ (Ia cinta Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya cinta dia).”
0 komentar:
Post a Comment