A. Hal-hal yang membatalkan puasa ada dua macam
1. Yang
membatalkan puasa dan hanya wajib mengqodho-nya saja, yaitu :
a. Makan,
minum dan merokok secara sengaja (dan wajib atas pelakunya bertaubat).
Muntah dengan
sengaja, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
مَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ القَضَاء
”Barangsiapa
yang muntah dengan sengaja maka wajib atasnya qodho’.” (Shahih, HR Hakim
dan selainnya).
b. Wanita
haidh atau nifas, walaupun ia berada pada waktu akhir menjelang terbenamnya
matahari.
2. Yang
membatalkan puasa dan wajib mengqodho’ serta membayar kafarat, yaitu: Jima’
(bersetubuh) dan tidak ada selainnya menurut mayoritas ulama.
Kafarat-nya
yaitu membebaskan budak, apabila tidak ada budak maka berpuasa dua bulan
berturut-turut, apabila tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Sebagian ulama
tidak mensyaratkan harus berurutan di dalam kafarat (maksudnya boleh memilih
salah satu diantara tiga)
B. Hal-Hal
Yang Tidak Membatalkan Puasa
1. Makan dan
minum karena lupa, keliru (maksudnya, mengira sudah waktunya buka ternyata
belum) atau terpaksa. Tidak wajib mengqodho’-nya ataupun membayar kafarat,
sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
”Barangsiapa
yang lupa sedangkan ia berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.”
(Muttafaq ’alayhi).
Dan sabda
beliau, ”Sesungguhnya Allah mengangkat (beban taklif) dari umatku (dengan
sebab) kekeliruan, lupa dan keterpaksaan.” (Shahih, HR Thabrani).
2. Muntah
tanpa disengaja, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
”Barangsiapa
yang mengalami muntah sedangkan ia dalam keadaan puasa maka tidak wajib atasnya
mengqodho’.” (Shahih, HR Hakim).
3. Mencium
isteri, baik untuk orang yang telah tua maupun pemuda selama tidak sampai
menyebabkan terjadinya jima’.
Dari ’Aisyah Radhiyallahu
Anha beliau berkata, ”Rasulullah
pernah menciumi (isteri-isteri beliau) sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa,
beliau juga pernah bermesraan sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Namun
beliau adalah orang yang paling mampu menahan hasratnya,” (muttafaq
’alayhi).
4. Mimpi basah
di siang hari walaupun keluar air mani.
5. Keluarnya
air mani tanpa sengaja seperti orang yang sedang berkhayal lalu keluar (air
mani).
6. Mengakhirkan
mandi janabat, haidh atau nifas dari malam hari hingga terbitnya fajar. Namun
yang wajib adalah menyegerakannya untuk menunaikan shalat.
7. Berkumur dan
istinsyaq (menghirup air ke dalam rongga hidung) secara tidak berlebihan,
sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada
Laqith bin Shabrah,
أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي
الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
”Sempurnakan
wudhu’ dan sela-selailah jari jemari serta hiruplah air dengan kuat (istinsyaq)
kecuali apabila engkau sedang berpuasa.” (Shahih, HR ahlus sunan).
8. Menggunakan
siwak kapan saja, dan yang semisal dengan siwak adalah sikat gigi dan pasta
gigi, dengan syarat selama tidak masuk ke dalam perut.
9. Mencicipi
makanan dengan syarat selama tidak ada sedikitpun yang masuk ke dalam perut.
10. Bercelak
dan meneteskan obat mata ke dalam mata atau telinga walaupun ia merasakan
rasanya di tenggorokan.
11. Suntikan (injeksi)
selain injeksi nutrisi dalam berbagai jenisnya. Karena sesungguhnya, sekiranya
injeksi tersebut sampai ke lambung, namun sampainya tidak melalui jalur
(pencernaan) yang lazim/biasa.
12. Menelan
air ludah yang berlendir (dahak), dan segala (benda) yang tidak mungkin
menghindar darinya, seperti debu, tepung atau selainnya (partikel-partikel
kecil yang terhirup hingga masuk tenggorokan dan sampai perut, pent.).
13. Menggunakan
obat-obatan yang tidak masuk ke dalam pencernaan seperti salep, celak mata,
atau obat semprot (inhaler) bagi penderita asma.
14. Gigi
putus, atau keluarnya darah dari hidung (mimisan), mulut atau tempat lainnya.
15. Mandi pada
siang hari untuk menyejukkan diri dari kehausan, kepanasan atau selainnya.
16. Menggunakan
wewangian di siang hari pada bulan Ramadhan, baik dengan dupa, minyak maupun
parfum.
17. Apabila
fajar telah terbit sedangkan gelas ada di tangannya, maka janganlah ia
meletakkan-nya melainkan setelah ia menyelesaikan hajat-nya, sebagaimana sabda
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ
حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
”Apabila
salah seorang dari kalian telah mendengar adzan dikumandangkan sedangkan gelas
masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia
menyelesaikan hajat-nya tersebut.” (Shahih, HR Abu Dawud).
18. Berbekam, “karena
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berbekam sedangkan beliau
dalam keadaan berpuasa.” (muttafaq ’alayhi). Adapun hadits yang berbunyi,”Orang
yang membekam dan dibekam batal puasanya” (Shahih, HR Ahmad) maka
statusnya mansukh (terhapus) dengan hadits sebelumnya dan dalil-dalil yang lainnya.
Ibnu Hazm
berkata, ”Hadits ”orang yang membekam dan dibekam batal puasanya” adalah
shahih tanpa diragukan lagi, akan tetapi kami mendapatkan di dalam hadits Abu
Sa’id, ”Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan keringanan berbekam bagi orang yang
berpuasa” dan sanad
hadits ini shahih sehingga wajib menerimanya.
Oleh sebab
keringanan (rukhshah) itu terjadi setelah ’azimah (ketetapan), maka (hal ini)
menunjukkan atas dinaskh (dihapusnya) hadits yang menjelaskan batalnya puasa
karena bekam, baik itu orang yang membekam maupun yang dibekam.” (Lihat Fathul
Bari 4:178). Wallahu’alam bish shawwab.
0 komentar:
Post a Comment