Yazid bin Muawiyah menjabat khalifah menggantikan
ayahnya, Muawiyah bin Abi Sufyan pada usia 34 tahun. Ia adalah khalifah
kedua dalam dinasti Bani Umayyah. Ia lahir pada 22 Hijriyah. Namun ada
juga yang mengatakan, ia lahir pada 25 atau 26 Hijriyah.
Saat
itu, ayahnya sedang menjabat sebagai gubernur wilayah Palestina yang
meliputi Suriah dan sekitarnya yang berkedudukan di Damaskus.
Sebelumnya, pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, wilayah
itu dipegang Abu Ubaidah bin Jarrah. Abu Sufyan menjabat sebagai
gubernur sekitar 29 tahun, dari 41 H-60 H. Pada masa itulah Yazid lahir.
Dengan
demikian, Yazid lahir dan besar dalam lingkup istana yang penuh dengan
kemewahan. Tidak seperti Khulafaur Rasyidin sebelumnya yang dipilih oleh
kaum Muslimin, Yazid menerima jabatan langsung dari ayahnya. Namun
demikian, sebagian besar penduduk Palestina dan Suriah mendukungnya.
Penduduk wilayah Mesir dan pesisir utara Afrika juga menyatakan baiat
kepada Yazid.
Sementara wilayah Basrah—yang saat itu merupakan
ibukota Iran dan Khurasan—dan Kufah—ibukota Irak kala itu—belum
menunjukkan reaksi. Sedangkan penduduk wilayah Hijaz, terutama penduduk
Makkah dan Madinah menentang secara keras. Meskipun Marwan bin Hakam,
gubernur wilayah itu sudah ‘memaksa’ tetapi mereka menolak. Kala itu,
baik di Madinah maupun Makkah, masih banyak kalangan sahabat Nabi dan
para tabiin.
Di wilayah Hijaz, ada empat tokoh yang disegani kala
itu; Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah bin Umar bin
Al-Khathab, Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Zubair bin
Awwam.
Abdurrahman bin Abu Bakar meninggal dunia sebelum Muawiyah
menjabat khalifah. Abdullah bin Umar menyetujui Yazid sebagai khalifah.
Sejarah mencatat ucapannya saat itu, “Kalau orang banyak menyetujuinya,
maka aku pun setuju.” Sedangkan Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair
tetap tak mau berbaiat kepada Yazid. Penduduk Makkah pun berada di
belakang kedua tokoh itu.
Sementara itu, penduduk Kufah
mengundang Husain ke Irak untuk dinobatkan sebagai Khalifah. Husain bin
Ali setuju. Ia pun mengirimkan Muslim bin Uqail bin Abi Thalib ke Kufah.
Muslim bin Uqail berangkat dan berhasil mengambil baiat 30.000 penduduk
Irak. Semuanya berjanji akan mendukung Husain sebagai khalifah.
Diiringi rombongan besar, Husain berangkat menuju Kufah. Turut dalam
rombongan itu, istri dan putranya Ali bin Husain, yang lebih dikenal
dengan Ali Zainal Abidin.
Begitu mendengar sikap penduduk Irak di
Kufah dan adanya keberangkatan Husain bin Ali dan pasukannya ke kota
itu, Khalifah Yazid murka. Ia segera memecat Nukman bin Basyir, gubernur
wilayah Irak dan menggabungkan wilayah itu dalam kekuasaan Abdullah bin
Ziyad, gubernur wilayah Iran yang sudah berhasil mengambil baiat atas
para tokoh di Basrah. Bersamaan dengan itu, Yazid juga memerintahkan
untuk menangkap Husain bin Ali dan pasukannya.
Gubernur Abdullah
bin Ziyad tiba di Kufah terlebih dahulu daripada Husain dan pasukannya.
Dengan mudah ia merebut dan menduduki Kufah. Para penduduknya berbalik
mengangkat baiat kepada Yazid bin Muawiyah. Muslim bin Uqail ditangkap
dan dijatuhi hukuman mati. Abdullah bin Ziyad segera membentuk pasukan
besar yang terdiri dari 2.000 tentara berkuda dari penduduk Irak sendiri
dan memercayakan pimpinannya kepada Alhur bin Yazid At-Tamimi untuk
menghadang Husain dan rombongannya.
Berita tentang dikuasainya
Kufah dan dibunuhnya Muslim bin Uqail sampai ke telinga Husain. Namun
karena yakin penduduk Iran dan Irak tetap berpihak kepadanya, Husain
tetap bersikeras melanjutkan perjalanan. Beberapa pengikutnya yang setia
sudah membayangkan apa yang akan terjadi, menasihati Husain agar
kembali ke Makkah atau berbalik arah ke Yaman. Namun Husain bersikeras.
Walau demikian, ia membolehkan pasukannya untuk menentukan pilihan
sendiri, ikut atau kembali ke Makkah. Akhirnya, sebagian pengikutnya
kembali ke Makkah. Hanya 31 orang penunggang kuda dan 40 pejalan kaki
yang mengiringi Husain dan keluarganya.
Rombongan kecil itu terus
melanjutkan perjalanan. Di sebuah tempat bernama Sirrah, rombongan
Husain berpapasan dengan pasukan Alhur bin Yazid. Alhur sempat kaget
melihat rombongan kecil di hadapannya, sebab berita yang ia dengar,
Husain datang bersama pasukan besar. Ia tak berani gegabah lalu
menghentikan pasukannya dan mengambil posisi bertahan.
Sementara
itu, Husain masih yakin pasukan besar di hadapannya akan kembali
berbaiat kepadanya. Sempat terjadi negosiasi, tetapi menemui jalan
buntu. Sepucuk surat datang dari Abdullah bin Ziyad yang memerintahkan
untuk segera mendesak pasukan Husain. Pasukan kecil itu terus terdesak
di sebuah padang gersang yang sangat dikenal dalam sejarah, Karbala!
Pertempuran
tak seimbang pun tak terelakkan. Seluruh pengikut Husain hampir
semuanya gugur. Hanya para wanita dan anak-anak yang dibiarkan selamat.
Sebelum tubuh Husain rebah ke tanah, sebuah tombak melesat ke mulutnya.
Selanjutnya seorang musuh lain menusuk dada cucu Rasulullah dengan
tombak. Tepat ketika tubuhnya rebah, pedang Syammar bin Ziljausan—salah
seorang panglima Yazid—menyambar lehernya.
Kepala Husain dan
keluarganya dibawa ke Kufah. Selanjutnya dibawa ke Damaskus dan
dipersembahkan kepada Yazid bin Muawiyah. Begitu melihat kepala Husain,
Yazid sedih dan berlinang air mata. “Aku tidak pernah memerintahkan
untuk membunuhnya. Demi Allah, kalau aku berada di tempat itu, aku akan
memberikan ampunan padanya,” ujar Yazid.
Peristiwa Karbala itu
menggemparkan penduduk Hijaz. Sebagian penduduk Madinah segera mencabut
baiatnya atas Yazid bin Muawiyah. Abdullah bin Zubair segera dinobatkan
sebagai khalifah. Di kalangan masyarakat saat itu, ia termasuk orang
ternama. Ayahnya, Zubair bin Awwam adalah satu diantara 10 sahabat
Rasulullah yang dijamin masuk surga. Sedangkan ibunya adalah Asma’ binti
Abu Bakar. Abdullah bin Zubair mendapat dukungan dari Hijaz, Yaman dan
Arabia Selatan.
Mendengar itu, khalifah Yazid kembali murka. Ia
segera mengirim pasukan besar dipimpin Muslim bin Uqbah dengan pesan
yang diabadikan sejarah, “Berangkatlah menuju Madinah. Jika mereka
melakukan perlawanan, perangi! Jika kau menang, izinkan tentaramu
berbuat sekehendak hati selama tiga hari. Setelah itu berangkatlah ke
Makkah dan perangilah Abdullah bin Zubair!”
Setelah berhasil
menaklukkan Madinah dan pasukannya melakukan ibahat—tradisi Romawi
ketika menaklukkan sebuah kota, tentara dibolehkan melakukan apa saja di
dalamnya—selama tiga hari, Muslim bin Uqbah melanjutkan perjalanan ke
Makkah. Dalam perjalanan inilah ia meninggal, dan pimpinan pasukan
diambil alih Alhushain bin Alnamir.
Pasukan Abdullah bin Zubair
mampu bertahan selama 40 hari di Makkah. Karena tak mampu menembus
pertahanan itu, Alhushain mengajak damai. Akhirnya kedua belah pihak
sepakat gencatan senjata. Pada detik-detik itulah Yazid bin Muawiyah
meninggal dunia dalam usia 38 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung
selama tiga tahun enam bulan.
0 komentar:
Post a Comment