Bloggerberdatu

1/26/14

Depresi Ibu Pasca Melahirkan

Depresi Ibu Pasca Melahirkan

Depresi pasca melahirkan merupakan masalah yang signifikan dan menjadi perhatian masyarakat sejak lama. Walaupun terkadang sering tidak terdeteksi karena minimnya pelaporan, penelitian menyebutkan bahwa sekitar 10%-20% wanita yang melahirkan menderita depresi. Depresi pasca melahirkan selain membuat penderitaan batin untuk si ibu, juga membuat renggangnya perkawinan dan dapat menyebabkan menurunnya fungsi sosial ibu dan kualitas hidupnya. Penelitian terbaru juga mengatakan bahwa ibu yang depresi dapat menyebabkan gangguan emosional dan kognitif pada bayinya yang baru lahir. Suatu penelitian mengatakan bahwa depresi terjadi dua kali lipat lebih tinggi pada wanita yang hidupnya dalam kemiskinan, sekitar 22%-34% dari populasi.
Sebenarnya depresi pasca melahirkan dapat dideteksi sejak awal kehamilan, apalagi dengan adanya riwayat depresi pada masa kehamilan yang dari banyak penelitian merupakan perkiraan yang paling kuat akan munculnya depresi setelah melahirkan. Namun karena wanita sebagai seorang ibu dalam masyarakat digambarkan sebagai orang yang kuat dan adanya stigma dari gangguan jiwa yang masih terdapat dalam masyarakat maka depresi pasca melahirkan kadang tersembunyi dan tidak dilaporkan oleh si ibu. Mereka lebih suka menyimpan semuan penderitaan dan berjuang sendirian untuk keadaannya itu .
Depresi pasca persalinan adalah suatu depresi yang ditemukan pada perempuan setelah melahirkan, yang terjadi dalam kurun waktu 4 pekan. Hal ini dapat berlangsung hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun bila tidak diatasi. Satu hal yang perlu diketahui, sebenarnya selain depresi pasca persalinan, terdapat jenis depresi yang lebih ringan pada ibu setelah melahirkan, yaitu maternity blues atau post partum blues atau baby blues, yaitu gejala depresi yang biasanya dialami oleh perempuan setelah melahirkan antara hari ke-7 hingga 14, yang terjadi untuk sementara waktu dan akan hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. Pada pembahasan kali ini akan dikupas mengenai depresi pasca persalinan, karena perlu penanganan yang lebih serius dibandingkan dengan baby blues.
Apa Saja Tanda dan Gejalanya?
Gejala-gejala yang ditemukan pada depresi pasca persalinan serupa dengan gejala gangguan depresi pada umumnya namun berkaitan dengan fungsi, peran, dan tanggung jawab sebagai ibu, terutama dalam merawat atau mengurus bayi. Gejala-gejala tersebut yaitu seperti adanya perasaan sedih, mudah marah, dan ingin marah saja, gelisah, hilangnya minat dan semangat yang nyata dalam aktivitas sehari-hari yang sebelumnya disukai, enggan dan malas mengurus anaknya, sulit tidur atau justru terlalu banyak tidur, nafsu makan menurun atau sebaliknya meningkat hingga mengalami penurunan atau pertambahan berat badan yang bermakna, merasa lelah atau kehilangan energi, kemampuan berpikir dan konsentrasinya menurun, merasa bersalah, merasa tidak berguna hingga putus asa dan mempunyai ide-ide kematian yang berulang (berupa ingin bunuh diri atau bahkan ingin membunuh bayinya).
Tanda dan gejala tersebut dapat muncul bersamaan sekaligus atau hanya sebagian saja. Yang jelas, karena mengalami tanda dan gejala tersebut, seorang ibu akan mengalami perasaan tertekan sehingga sulit atau tidak dapat menjalankan fungsi dan aktivitasnya sehari-hari. Oleh karena itu, ibu yang mengalami kondisi ini harus segera ditolong, agar tidak terjadi kondisi yang membahayakan dirinya atau bayinya.
Apa Penyebabnya?
Penyebab yang pasti hingga kini belum diketahui dan masih dalam penelitian para ahli. Namun demikian, terdapat beberapa faktor risiko yang diperkirakan mempengaruhi terjadinya depresi pasca persalinan, antara lain :
  • Rendahnya atau ketidakpastian dukungan suami dan keluarga.
  • Keadaan atau kualitas bayi. Masalah pada bayi tersebut antara lain adanya komplikasi kelahiran (misalnya perdarahan yang terlalu banyak atau ibu mengalami infeksi, bayi yang lahir dengan jenis kelamin yang tidak diharapkan, atau lahir dengan cacat bawaan).
  • Tidak siapnya seorang ibu dalam menyambut kehadiran bayinya (kehamilan yang tidak diharapkan).
  • Adanya stressor (pemicu stress) bagi seorang ibu, baik yang berkaitan dengan kehidupan sosial maupun kejiwaannya.
  • Terdapatnya riwayat depresi sebelumnya atau masalah emosional lainnya pada seorang ibu.
  • Perubahan produksi hormon (progesteron, estrogen, prolaktin, dan kortisol) pada masa nifas.
  • Keengganan ibu yang melahirkan untuk mengungkapkan perasaan sedihnya, karena menganggap rasa sedih setelah melahirkan akan hilang dengan sendirinya.
Faktor-faktor risiko ini perlu ditelusuri untuk membantu proses penyembuhan dan mengantisipasi kondisi berulangnya depresi setelah persalinan bayi berikutnya.
Adakah Dampaknya Terhadap Anak Yang Dilahirkan?
Pada ibu yang mengalami depresi pasca persalinan, minat dan ketertarikan terhadap bayinya menjadi berkurang. Ibu sering tidak berespon positif (menyambut dengan hangat komunikasi yang dilakukan oleh bayinya, baik melalui suara tangis, tatapan mata, ataupun gerak tubuh) sehingga bayi akan berusaha lebih keras untuk menarik perhatian ibunya. Misalnya pada saat merasa bingung, bayi memerlukan kenyamanan atau penentraman, maka biasanya ia akan menangis. Bila ibu juga bingung atau marah atau sedih, maka bayi akan menangis dengan suara lebih keras atau mungkin disertai gerakan tubuh tertentu agar ibunya bisa menolongnya. Namun, ibu yang sedang depresi tidak mampu mengenali kebutuhan bayinya sehingga tidak dapat berespon seperti yang diharapkan dan dibutuhkan.
Ibu yang depresi juga tidak mampu merawat bayinya secara optimal, karena merasa tidak berdaya atau tidak mampu sehingga akan menghindar dari tanggung jawabnya. Akibatnya, kondisi kebersihan dan kesehatan bayinya pun menjadi tidak optimal. Ibu juga tidak bersemangat menyusui bayinya sehingga pertumbuhan dan perkembangan bayinya tidak seperti bayi-bayi yang ibunya tidak mengalami depresi.
Akibat lain depresi pasca persalinan yaitu hubungan ibu dan bayi juga tidak optimal sehingga di kemudian hari kepribadian anak menjadi kurang matang. Anak-anak tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain bertemperamen negatif (mudah tersinggung, mudah marah, kurang bisa bertoleransi dengan orang lain), kurang bisa beradaptasi, intelegensi dan prestasi akademik tidak optimal, sulit bekerjasama dengan teman sebaya, kurang fokus dan konsentrasi sehingga mengganggu kegiatan belajar, bahkan dimungkinkan juga akan memiliki perilaku yang menyimpang (suka menentang, membolos, bahkan mencuri).
Dapatkah Diobati?
Depresi pasca persalinan insyaallah dapat diatasi dan diobati bila tanda dan gejalanya dikenali, baik oleh ibu yang mengalami atau orang-orang terdekat. Sebaliknya, bila dibiarkan berlarut-larut dan tanpa upaya pengobatan akan berakibat buruk bagi ibu, bayi, dan anggota keluarga lainnya. Pemberian obat bukan merupakan prioritas utama, bahkan sedapat mungkin dihindari oleh dokter mengingat ibu masih menyusui bayinya. Obat hanya diberikan pada kondisi yang sangat mendesak misalnya ibu sangat gelisah atau pada kondisi yang mengancam keselamatan diri ibu dan bayinya. Pada kondisi seperti ini biasanya ibu dianjurkan untuk dirawat secara intensif sampai kondisinya tenang dan stabil.
Program pengobatan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1.   Pengobatan terhadap ibu.
  • Latihan relaksasi, bisa dengan rekreasi, melakukan kegiatan yang disenangi, dan lain-lain.
  • Restrukturisasi kognitif, yaitu dengan menentang perilaku dan pikiran negative yang muncu.
  • Pemecahan masalah, yaitu pemberian alternatif pemecahan masalah yang sedang dihadapi ibu.
  • Komunikasi, yaitu melatih kemampuan ibu untuk mengutarakan perasaannya kepada orang-orang terdekat.
  • Menghibur ibu dengan berbagai cara, seperti dengan memberi perhatian dan hadiah yang disukai, memasakkan makanan kesukaan, menceritakan hal-hal yang menyenangkan, dan lain-lain.
  • Bila gejala berat baru diberikan obat anti depresi.
2.   Pengobatan terhadap hubungan ibu dan bayinya.
  • Menganjurkan ibu untuk merawat bayinya sesering mungkin.
  • Menyediakan tempat yang nyaman bagi ibu dan bayinya.
  • Mengajarkan ibu untuk melakukan kontak fisik dengan bayinya seperti menyentuh, mencium, memeluk, dan memijat bayinya dengan lembut.
  • Melibatkan anggota keluarga yang lain dalam merawat bayi (seperti suami, nenek, dan lainnya).
  • Mengajak ibu dan bayinya untuk sesekali menghirup udara di luar rumah, karena udara segar bisa memperbaiki perasaan ibu dan bayinya.
  • Menyarankan ibu yang sedang muncul perasaan negatifnya (marah, lelah, frustasi, kesepian) untuk meninggalkan bayinya sejenak bersama orang lain. Setelah tenang dan stabil, ibu bisa menemui bayinya kembali.
Kenali dan Hindari.
Depresi pasca persalinan dapat dicegah apabila para calon ibu, suami, dan keluarga mengetahui faktor-faktor risikonya. Bila ada salah satu dari faktor risiko tersebut, diharapkan para calon ibu dapat menghindarinya, atau bila tidak dapat dihindari sebaiknya segera mencari pertolongan profesional (dokter, psikiater) agar pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin. Dengan demikian, diharapkan setiap ibu yang baru saja melahirkan mampu berfungsi optimal dalam merawat, mengasuh, dan mendidik anaknya hingga menjadi seseorang dengan jiwa dan kepribadian yang sehat.
Sudah seharusnya setiap muslimah memahami betapa anak yang di amanahkan Allah pada dirinya harus dirawat dengan baik. Oleh karena itu, selain upaya-upaya yang telah disebutkan di atas, hendaknya setiap calon ibu membekali diri dengan ilmu agama dan ilmu yang mendukung perannya dalam mengasuh dan mendidik anak. Demikian penjelasan mengenai depresi pasca persalinan, semoga bermanfaat.