Depresi Ibu Pasca Melahirkan
Depresi pasca melahirkan merupakan masalah yang signifikan dan menjadi perhatian masyarakat sejak lama. Walaupun terkadang sering tidak terdeteksi karena minimnya pelaporan, penelitian menyebutkan bahwa sekitar 10%-20% wanita yang melahirkan menderita depresi. Depresi pasca melahirkan selain membuat penderitaan batin untuk si ibu, juga membuat renggangnya perkawinan dan dapat menyebabkan menurunnya fungsi sosial ibu dan kualitas hidupnya. Penelitian terbaru juga mengatakan bahwa ibu yang depresi dapat menyebabkan gangguan emosional dan kognitif pada bayinya yang baru lahir. Suatu penelitian mengatakan bahwa depresi terjadi dua kali lipat lebih tinggi pada wanita yang hidupnya dalam kemiskinan, sekitar 22%-34% dari populasi.
Sebenarnya depresi pasca melahirkan
dapat dideteksi sejak awal kehamilan, apalagi dengan adanya riwayat
depresi pada masa kehamilan yang dari banyak penelitian merupakan
perkiraan yang paling kuat akan munculnya depresi setelah melahirkan.
Namun karena wanita sebagai seorang ibu dalam masyarakat digambarkan
sebagai orang yang kuat dan adanya stigma dari gangguan jiwa yang masih
terdapat dalam masyarakat maka depresi pasca melahirkan kadang
tersembunyi dan tidak dilaporkan oleh si ibu. Mereka lebih suka
menyimpan semuan penderitaan dan berjuang sendirian untuk keadaannya itu
.
Depresi pasca persalinan adalah suatu
depresi yang ditemukan pada perempuan setelah melahirkan, yang terjadi
dalam kurun waktu 4 pekan. Hal ini dapat berlangsung hingga beberapa
bulan bahkan beberapa tahun bila tidak diatasi. Satu hal yang perlu
diketahui, sebenarnya selain depresi pasca persalinan, terdapat jenis
depresi yang lebih ringan pada ibu setelah melahirkan, yaitu maternity
blues atau post partum blues atau baby blues, yaitu gejala depresi yang
biasanya dialami oleh perempuan setelah melahirkan antara hari ke-7
hingga 14, yang terjadi untuk sementara waktu dan akan hilang dengan
sendirinya tanpa pengobatan. Pada pembahasan kali ini akan dikupas
mengenai depresi pasca persalinan, karena perlu penanganan yang lebih
serius dibandingkan dengan baby blues.
Apa Saja Tanda dan Gejalanya?
Gejala-gejala yang ditemukan pada
depresi pasca persalinan serupa dengan gejala gangguan depresi pada
umumnya namun berkaitan dengan fungsi, peran, dan tanggung jawab sebagai
ibu, terutama dalam merawat atau mengurus bayi. Gejala-gejala tersebut
yaitu seperti adanya perasaan sedih, mudah marah, dan ingin marah saja,
gelisah, hilangnya minat dan semangat yang nyata dalam aktivitas
sehari-hari yang sebelumnya disukai, enggan dan malas mengurus anaknya,
sulit tidur atau justru terlalu banyak tidur, nafsu makan menurun atau
sebaliknya meningkat hingga mengalami penurunan atau pertambahan berat
badan yang bermakna, merasa lelah atau kehilangan energi, kemampuan
berpikir dan konsentrasinya menurun, merasa bersalah, merasa tidak
berguna hingga putus asa dan mempunyai ide-ide kematian yang berulang
(berupa ingin bunuh diri atau bahkan ingin membunuh bayinya).
Tanda dan gejala tersebut dapat muncul
bersamaan sekaligus atau hanya sebagian saja. Yang jelas, karena
mengalami tanda dan gejala tersebut, seorang ibu akan mengalami perasaan
tertekan sehingga sulit atau tidak dapat menjalankan fungsi dan
aktivitasnya sehari-hari. Oleh karena itu, ibu yang mengalami kondisi
ini harus segera ditolong, agar tidak terjadi kondisi yang membahayakan
dirinya atau bayinya.
Apa Penyebabnya?
Penyebab yang pasti hingga kini belum
diketahui dan masih dalam penelitian para ahli. Namun demikian, terdapat
beberapa faktor risiko yang diperkirakan mempengaruhi terjadinya
depresi pasca persalinan, antara lain :
- Rendahnya atau ketidakpastian dukungan suami dan keluarga.
- Keadaan atau kualitas bayi. Masalah pada bayi tersebut antara lain adanya komplikasi kelahiran (misalnya perdarahan yang terlalu banyak atau ibu mengalami infeksi, bayi yang lahir dengan jenis kelamin yang tidak diharapkan, atau lahir dengan cacat bawaan).
- Tidak siapnya seorang ibu dalam menyambut kehadiran bayinya (kehamilan yang tidak diharapkan).
- Adanya stressor (pemicu stress) bagi seorang ibu, baik yang berkaitan dengan kehidupan sosial maupun kejiwaannya.
- Terdapatnya riwayat depresi sebelumnya atau masalah emosional lainnya pada seorang ibu.
- Perubahan produksi hormon (progesteron, estrogen, prolaktin, dan kortisol) pada masa nifas.
- Keengganan ibu yang melahirkan untuk mengungkapkan perasaan sedihnya, karena menganggap rasa sedih setelah melahirkan akan hilang dengan sendirinya.
Faktor-faktor risiko ini perlu
ditelusuri untuk membantu proses penyembuhan dan mengantisipasi kondisi
berulangnya depresi setelah persalinan bayi berikutnya.
Adakah Dampaknya Terhadap Anak Yang Dilahirkan?
Pada ibu yang mengalami depresi pasca
persalinan, minat dan ketertarikan terhadap bayinya menjadi berkurang.
Ibu sering tidak berespon positif (menyambut dengan hangat komunikasi
yang dilakukan oleh bayinya, baik melalui suara tangis, tatapan mata,
ataupun gerak tubuh) sehingga bayi akan berusaha lebih keras untuk
menarik perhatian ibunya. Misalnya pada saat merasa bingung, bayi
memerlukan kenyamanan atau penentraman, maka biasanya ia akan menangis.
Bila ibu juga bingung atau marah atau sedih, maka bayi akan menangis
dengan suara lebih keras atau mungkin disertai gerakan tubuh tertentu
agar ibunya bisa menolongnya. Namun, ibu yang sedang depresi tidak mampu
mengenali kebutuhan bayinya sehingga tidak dapat berespon seperti yang
diharapkan dan dibutuhkan.
Ibu yang depresi juga tidak mampu
merawat bayinya secara optimal, karena merasa tidak berdaya atau tidak
mampu sehingga akan menghindar dari tanggung jawabnya. Akibatnya,
kondisi kebersihan dan kesehatan bayinya pun menjadi tidak optimal. Ibu
juga tidak bersemangat menyusui bayinya sehingga pertumbuhan dan
perkembangan bayinya tidak seperti bayi-bayi yang ibunya tidak mengalami
depresi.
Akibat lain depresi pasca persalinan
yaitu hubungan ibu dan bayi juga tidak optimal sehingga di kemudian hari
kepribadian anak menjadi kurang matang. Anak-anak tersebut memiliki
ciri-ciri, antara lain bertemperamen negatif (mudah tersinggung, mudah
marah, kurang bisa bertoleransi dengan orang lain), kurang bisa
beradaptasi, intelegensi dan prestasi akademik tidak optimal, sulit
bekerjasama dengan teman sebaya, kurang fokus dan konsentrasi sehingga
mengganggu kegiatan belajar, bahkan dimungkinkan juga akan memiliki
perilaku yang menyimpang (suka menentang, membolos, bahkan mencuri).
Dapatkah Diobati?
Depresi pasca persalinan insyaallah
dapat diatasi dan diobati bila tanda dan gejalanya dikenali, baik oleh
ibu yang mengalami atau orang-orang terdekat. Sebaliknya, bila dibiarkan
berlarut-larut dan tanpa upaya pengobatan akan berakibat buruk bagi
ibu, bayi, dan anggota keluarga lainnya. Pemberian obat bukan merupakan
prioritas utama, bahkan sedapat mungkin dihindari oleh dokter mengingat
ibu masih menyusui bayinya. Obat hanya diberikan pada kondisi yang
sangat mendesak misalnya ibu sangat gelisah atau pada kondisi yang
mengancam keselamatan diri ibu dan bayinya. Pada kondisi seperti ini
biasanya ibu dianjurkan untuk dirawat secara intensif sampai kondisinya
tenang dan stabil.
Program pengobatan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Pengobatan terhadap ibu.
- Latihan relaksasi, bisa dengan rekreasi, melakukan kegiatan yang disenangi, dan lain-lain.
- Restrukturisasi kognitif, yaitu dengan menentang perilaku dan pikiran negative yang muncu.
- Pemecahan masalah, yaitu pemberian alternatif pemecahan masalah yang sedang dihadapi ibu.
- Komunikasi, yaitu melatih kemampuan ibu untuk mengutarakan perasaannya kepada orang-orang terdekat.
- Menghibur ibu dengan berbagai cara, seperti dengan memberi perhatian dan hadiah yang disukai, memasakkan makanan kesukaan, menceritakan hal-hal yang menyenangkan, dan lain-lain.
- Bila gejala berat baru diberikan obat anti depresi.
2. Pengobatan terhadap hubungan ibu dan bayinya.
- Menganjurkan ibu untuk merawat bayinya sesering mungkin.
- Menyediakan tempat yang nyaman bagi ibu dan bayinya.
- Mengajarkan ibu untuk melakukan kontak fisik dengan bayinya seperti menyentuh, mencium, memeluk, dan memijat bayinya dengan lembut.
- Melibatkan anggota keluarga yang lain dalam merawat bayi (seperti suami, nenek, dan lainnya).
- Mengajak ibu dan bayinya untuk sesekali menghirup udara di luar rumah, karena udara segar bisa memperbaiki perasaan ibu dan bayinya.
- Menyarankan ibu yang sedang muncul perasaan negatifnya (marah, lelah, frustasi, kesepian) untuk meninggalkan bayinya sejenak bersama orang lain. Setelah tenang dan stabil, ibu bisa menemui bayinya kembali.
Kenali dan Hindari.
Depresi pasca persalinan dapat dicegah
apabila para calon ibu, suami, dan keluarga mengetahui faktor-faktor
risikonya. Bila ada salah satu dari faktor risiko tersebut, diharapkan
para calon ibu dapat menghindarinya, atau bila tidak dapat dihindari
sebaiknya segera mencari pertolongan profesional (dokter, psikiater)
agar pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin. Dengan demikian,
diharapkan setiap ibu yang baru saja melahirkan mampu berfungsi optimal
dalam merawat, mengasuh, dan mendidik anaknya hingga menjadi seseorang
dengan jiwa dan kepribadian yang sehat.
Sudah seharusnya setiap muslimah
memahami betapa anak yang di amanahkan Allah pada dirinya harus dirawat
dengan baik. Oleh karena itu, selain upaya-upaya yang telah disebutkan
di atas, hendaknya setiap calon ibu membekali diri dengan ilmu agama dan
ilmu yang mendukung perannya dalam mengasuh dan mendidik anak. Demikian
penjelasan mengenai depresi pasca persalinan, semoga bermanfaat.