Sebuah kisah nyata yang membuat miris
setiap pembaca dan pendengar dimana saja berada. Seorang wanita yang
mulai tumbuh dewasa, akhirnya mendaftarkan diri menjadi seorang
mahasiswa di salah satu kampus kota Malang. Sebagai orangtua, tentu saja
berbahagia atas apa yang capai oleh putri tercintanya. Khususnya sang
Ibu, selalu memberikan yang terbaik untuk putra-putrinya.
Sang Ibu-pun memulai memberikan
pesan-pesan moral kepada putrinya agar senantiasa menjaga diri.
Kewajiban orangtua adalah selalu memberikan bekal materi, nasehat dan
do’a. Salah satu pesan seorang Ibu kepada putri tercintanya adalah,
jangan keluar malam, belajar sungguh-sungguh, jangan berpacaran. Karena
yang demikian itu sama dengan menyakiti dan melukai hati kedua orangtua,
serta melanggar ajaran Rosulullah SAW.Mendengar petuah sang Ibu,
mahasiswi itu manggut-manggut, sebagai bukti bakti seorang anak kepada
kedua orangtua. Orangtua memang memiliki hak penuh atas anak-anaknya.
Wajar, jika kemudian seorang Ibu berpesan demikian kepada putrinya,
serta anak-anaknya semua.
Sebuah kisah menarik terkait dengan hak
orangtua atas anaknya. Di jaman Rasulullah SAW, ada seorang pemuda
mengadukan ayahnya kepada Nabi SAW.Karena si ayah mengambil telah harta
milik anaknya itu. Rasulullah SAW lantas memerintahkan anak lelaki itu
agar supaya memanggil ayahnya. Ketika berada di hadapan Rasulullah SAW,
ditanyakanlah hal itu.
Kemudian Rosulullah SAW bertanya kepadanya :“Mengapa engkau mengambil harta anakmu,” ?.
Kemudian lelaki itu menjawab dengan agak kesal:“Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah!. Kemudian orangtuanya sedikit memberikan penjelasan:’’Sebab, uang itu saya nafkahkan untuk saudara-saudaranya, paman-pamannya dan bibinya,”jawab orang tua itu.
Rasulullah SAW kemudian bertanya lagi:, “Ceritakanlah apa yang ada dalam hatimu dan tidak didengar oleh telingamu.”
Kemudian lelaki itu menjawab dengan agak kesal:“Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah!. Kemudian orangtuanya sedikit memberikan penjelasan:’’Sebab, uang itu saya nafkahkan untuk saudara-saudaranya, paman-pamannya dan bibinya,”jawab orang tua itu.
Rasulullah SAW kemudian bertanya lagi:, “Ceritakanlah apa yang ada dalam hatimu dan tidak didengar oleh telingamu.”
Maka berceritalah si ayah ini.“Aku
mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil
jerih-payahku kau minum dan kau reguk puas. Bila kau sakit di malam
hari, hatiku gundah dan gelisah lantaran sakit dan deritamu. Aku tak
bisa tidur dan resah, bagaikan akulah yang sakit dan bukan kau yang
menderita. Lalu air mataku berlinang-linang dan meluncur deras. Hatiku
takut engkau disambar maut. Padahal aku tahu, ajal pasti akan datang.
Setelah engkau dewasa dan berhasil mencapai apa yang kau cita-citakan,
kau balas aku dengan kekerasan, kekasaran dan kekejaman. Seolah kaulah
pemberi kenikmatan dan keutamaan. Sayang, kau tak mampu penuhi hak
ayahmu. Kau perlakukan aku seperti tetangga jauhmu. Engkau selalu
menyalahkan dan membentakku seolah-olah kebenaran selalu menempel di
dirimu, seakan-akan kesejukan bagi orang-orang yang benar sudah
dipasrahkan.”
Mendengar hal ini, maka Rasulullah SAW
langsung memerintahkan kepada si anak, untuk memberikan hak orang
tuanya. Hadis di atas menceritakan betapa besar pengorbanan orangtua,
sehingga orangtua memiliki hak mutlak atas anak-anaknya. Seandainya,
semua jiwa raga sang anak dikorbankan untuk anaknya, tidak akan cukup
untuk membalas kebaikan dan pengorbanan seorang ayah dan ibu terhadap
anaknya.
Masih terkait dengan perilaku mahasiswi
terhadap ibunya. Ketika sudah menjadi mahasiswi, dimana kehidupan dunia
kampus begitu panas dengan dunia percintaan dan pacaran. Lelaki dan
wanita sudah biasa bersama-sama, walaupun belum menikah. Bahkan,
berdua-duaan sampai malam larut tidak menjadi masalah, walaupun mereka
tahu kalau hal itu dilarang agama dan juga melukai hati kedua
orangtuanya.
Ketika di ingatkan orangtuanya, atau
saudara-saudaranya mahasiswi itu selalu menjawab:’’aku tidak pacaran,
aku cuma teman biasa…! Padahal semua orang tahu, kalau dirinya itu
berpacaran dan telah menodai agama dan petuah orangtuanya.
Setiap hari, mahasiswi ini selalu
menampakkan sikap yang tidak patuh kepada Ibunya. Padahal sang Ibu
pontang panting mencari duit untuk biaya kuliah dan uang saku. Ratusan
juta sudah dikeluarkan untuk mengantarkan putrinya meraih cita-citanya.
Orang Jawa bilang;’’kepala di jadikan kaki, kaki dijadikan kepada demia
masa depan anak-anaknya’’.
Tetapi, karena dunia kampus begitu keras
dan panas dengan segala persaingan cinta. Maka, nasehat orangtua
seringkali ditinggalkan, bahkan tidak pernah direken sama sekali. Sebab,
cinta itu telah membutakan dirinya. Bahkan semakin hari hubungan dengan
lawan jenisnya semakin akrab, sehingga nyaris membahayakan sebagai
seorang wanita muslimah. Tidak ada cara lain bagi orangtuanya, kecuali
segera menikahkan keduanya dari pada harus menderita setiap menyaksikan
putri dan lelaki itu selalu berdua kemana-mana tanpa ikatan nikah.
Akhirnya, menikahlah kedua pasangan yang
sedang dimabuk asmara itu. Setelah menikah, keduanya terlihat bahagia,
karena kedua merasakan bahwa pasangannya adalah pilihan tuhan. Memang
benar begitu. Tetapi, keduanya tidak merasa bahwa selama ini telah
menyakiti hati kedua orangtua yang selama ini mengorbankan jiwa dan raga
atas kelahirannya serta menyekolahkan dengan biaya yang cukup mahal.
Setahun kemudian, sang putri hamil.
Ketika melahirkan, terjadi pendarahan yang begitu hebat. Berbagai cara
telah dokter dilakukan untuk menyelamatkan putrinya. Ternyata darah
tetap deras mengalir. Orangtua terus menerus beristighfar kepada Allah
SWT memohonkan ampun kepada Allah SWT atas kesalahan-kesalahan yang
selama ini dilakukan oleh putrinya. Tetapi, darah itu tetap saja
mengalir deras, seolah-olah tidak mau berhenti.
Sang Ibu yang selama ini sering
dikecewakan oleh putrinya semasa menjadi mahasiswa, akhirnya melakukan
cara aneh, unik, tergolong nekad. Karena cara ini tak lazim dilakukan.
Betapa terkejut anak dan menantunya, darah yang mengalir di ambil dan
membasuhkan ke mukanya berkali-kali. Sambil berlinang air mata, ibu it
terus membasuhkan dara nifas sang putri ke mukanya. Dengan ijin Allah
SWT, tiba-tiba darah nifas itu berhenti (mampet). Orangtua mau melakuan
ini demi putrinya, sementara sang putri masih belum merasakan kalau
dirinya telah melukai hati sang Ibu salama menjadi mahasiswi.
Lagi-lagi, keajaiban muncul. Keikhlasan
dan ketulusan seorang Ibu di dalam mengorbankan dirinya tidak ada
batasan. Adakah kalimat yang lebih indah dan pantas untuk diucapkan
kepada orangtua? Ketulusan Ibu dan ayah mampu menggegerkan penduduk
langit. Para malaikat pun mengucapkan amin, ketika ayah ibu berdoa untuk
anak-anaknya. Kemudian, adakah pengorbanan anak yang lebih besar
melebihi pengorbanan ayah bunda?
Oleh Ahmed Azzimi pada 25 Desember 2012 pukul 11:38 ·
0 komentar:
Post a Comment